Rabu, 24 Agustus 2011

Anggito: RAPBN Belum Perhitungkan Krisis AS

Pengamat Ekonomi Universitas Gajah Mada, Anggito Abimanyu, menyatakan RAPBN 2012 yang disampaikan presiden 16 Agustus lalu sudah bagus, tetapi belum menghitung dampak krisis keuangan di Amerika Serikat dan Uni Eropa.

"APBN 2012 sudah bagus, tetapi belum perhitungkan dampak krisis global. Secara intuisi, krisis AS berdampak pada perlambatan ekonomi. Instrumen menghadapi krisis yanga ada tidak seperti 2008 dan 2009," kata Anggito, dalam diskusi bersama para wartawan di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta, 24 Agustus 2011.

Nota keuangan itu, kata Anggito, dibuat Juli lalu sehingga risilko akibat perlambatan ekonomi dunia tidak dimasukan ke dalamnya. Misalnya dalam RAPBN 2012, pertumbuhan ekonomi 6,7 persen, inflasi mencapai 5,3 persen, suku bunga SPN-3 mencapai 6,5 persen, nilai tukar rupiah Rp8.800/US$, harga minyak US$90 per barel, dan lifting minyak mencapai 950 juta kiloliter.

Pada krisis 2008 dan 2009, kata Anggito, pemerintah mempunyai banyak instrumen untuk menghadapi krisis, misalnya pembelian kembali saham, stimulus fiskal, penempatan dana di bank BUMN. Namun, untuk saat ini sangat minim.

"Sekarang kerja sama dengan BI untuk membeli SBN (Surat Berharga Negara) dengan dana APBN dan pembentukan dana stabilisasi obligasi. Instrumen lain adalah penyiapan SAL (Sisa Anggaran Lebih) untuk mendukung stabilisasi pasar SBN domestik. Saya kira ini berlebihan, semua SBN, konsentrasi hanya satu yaitu SBN," ujar Anggito.

Namun, Anggito tidak melihat langkah komprehesif untuk antisipasi krisis, Bahkan, menurutnya, SAL bukan untuk stabilitas pasar. Padahal dulu, pemerintah menugaskan Pusat Investasi Pemerintah karena ada fleksibilitas untuk stabilisasi pasar.

"Postur APBN ideal dan ekspansif, belanja modal besar, tetapi ini hanya bisa dilihat di kondisi normal. Kalau di AS dan Eropa kondisinya seperti ini, APBN ini tidak kredibel," ungkapnya.

Untuk defisit, Anggito menganggap hal itu masuk akal karena dengan rasio utang di bbawah 30 persen, pemerintah mempunyai kesempatan untuk ekspansi fiskal. Kemudian, penerbitan SBN neto Rp134,6 triliun masih terdapat potensi untuk ditambah karena arus modal asing yang masuk ke pasar domestik tetap deras.

"Pada 2008-2009, dunia alokasikan US$5 triliun dari stimulus fiskal, moneter, prudential sektor keuangan, untuk menanggulangi krisis, tapi sekarang tidak, jadi lebih rentan," tuturnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar