Selasa, 23 Agustus 2011

Kredit Usaha Kecil Gagal Berantas Kemiskinan

Kebijakan kredit bagi masyarakat kecil di Indonesia muncul pertama kali pada awal abad XX, yaitu dengan menjadikan politik etis sebagai dasar politik kolonial Belanda pada 1901. Perwujudan kebijakan ini adalah dengan menjadikan volkscredietwesen secara resmi bertanggung jawab terhadap pengadaan kredit bagi masyarakat Bumiputera.

Menurut staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Haryono Rinardi, kebijakan pemerintah untuk membantu masyarakat kecil melalui pengadaan kredit terus berlanjut ketika Orde Baru berkuasa.
Salah satu program kredit yang diberikan secara khusus kepada petani berupa program BIMAS. Program lain berupa Program Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) yang dimulai awal 1974.

Program kredit usaha kecil ini diklaim mampu mendorong pembangunan dan memberantas kemiskinan. "Sayangnya, realitas di lapangan selalu saja terjadi perdebatan tentang implementasi dan efektivitas dari kebijakan kredit yang dijalankan," kata dia di Ruang Multimedia, Gedung RM Margono Djojohadikusumo, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Senin 22 Agustus 2011, saat menempuh ujian terbuka program doktor bidang ilmu sejarah.

Dari desertasi 'Kredit untuk Rakyat: Kebijakan Kredit Kecil Perbankan untuk Usaha Kecil dan Menengah 1904-1990', Haryono berkesimpulan bahwa kebijakan kredit kecil bersubsidi, baik yang dilakukan penguasa kolonial maupun Pemerintah Orde Baru di era kemerdekaan, bukan menjadi solusi utama atas persoalan kebutuhan modal bagi usaha kecil dan menengah.
Pendekatan pump priming kredit perdesaan melalui pendirian lembaga-lembaga keuangan guna mendorong pembangunan perdesaan terbukti tidak sepenuhnya benar.

"Berbagai temuan dalam penelitian ini sekaligus membantah keakuratan teori di kalangan pakar ekonomi dekade 1970-an yang sering kali menyebutkan bahwa penyediaan kredit-kredit murah bagi petani kecil dan masyarakat perdesaan merupakan strategi tepat untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan," katanya seperti dilansir laman UGM.

Pria kelahiran Rembang, 11 Maret 1967, ini menuturkan kegagalan program kredit kecil bersubsidi untuk meningkatkan usaha kecil dan menengah dapat dijelaskan beberapa hal, di antaranya kredit kecil bersubsidi untuk usaha kecil dan menengah sering menjadi bagian dari kepentingan industriawan global, sedangkan sektor usaha dominan yang memperoleh kredit kecil bersubsidi sejatinya bukan sektor ekonomi yang memiliki nilai strategis bagi pembangunan ekonomi Indonesia.

Selain itu, Haryono berpandangan hampir selalu terdapat tujuan non-ekonomi di balik kebijakan kredit kecil dan tidak semua debitor kredit kecil mampu memanfaatkan kredit yang diterima untuk meningkatkan kinerja usahanya.
"Ini menunjukkan kebutuhan kredit bukanlah satu-satunya persoalan yang harus dihadapi usaha kecil dan menengah di Indonesia agar dapat tumbuh dan berkembang, sebab kebijakan kredit kecil selalu sarat dengan korupsi," tutur Haryono Rinardi yang dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan menjadi doktor ke-1.445 yang diluluskan UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar